Sabtu, 12 Juli 2008

Obat Generik, murah tapi mutu tidak kalah


Ketika mendengar obat generik, umumnya orang akan langsung mengasumsikannya sebagai obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Betulkah asumsi ini?

Faktanya tidak demikian. Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat

Membeli obat tidak bisa disamakan dengan membeli barang elektronik. Umumnya harga barang elektronik sebanding dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka semakin bagus kualitasnya.

Semua obat baru, tentu harus dibayar tinggi untuk jasa penemuannya, yang menjadi hak eksklusifnya. Namun, tidak semua penyakit yang pasien derita memerlukan jenis obat baru.

Edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. Kenali lebih dekat obat generik, maka Anda akan akan diuntungkan karena meski harga murah tapi mutu tidak kalah.

Kenali Jenis Obat di Indonesia
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun.

Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya). Nah, obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerk (branded generic).

Tidak ada perbedaan zat berkhasiat antara generik berlogo dengan generik bermerk. "Bedanya, yang satu diberi merk, satu lagi diberi logo" ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

dr. Marius Widjajarta, SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengungkapkan bahwa di Indonesia lebih banyak obat bermerk dibandingkan obat generik.

Obat Paten Menjadi Obat Bermerk
Setelah habis masa patennya, obat yang dulunya paten dengan merk dagangnya pun kemudian masuk ke dalam kelompok obat generik bermerk atau obat bermerk. Meskipun masa patennya sudah selesai, merk dagang dari obat yang dipasarkan selama 20 tahun pertama tersebut tetap menjadi milik perusahaan yang dulunya memiliki paten atas obat tersebut.

Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan ´obat paten´ yang ditulis oleh media massa untuk membandingkan dengan obat generik sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai ´obat bermerek´. Penggunaan istilah ´obat paten´ adalah salah karena patennya sendiri sudah selesai dan tidak berlaku lagi.

Sebagai contoh perusahaan farmasi Pfizer memiliki hak paten atas produk Norvask®, sebuah obat anti hipertensi. Paten ini baru akan kadaluwarsa pada bulan September 2007.

Karena paten ini, tidak ada obat lain dengan kandungan yang sama di negara-negara yang mengakui paten ini. Jika ada, maka itu merupakan kerjasama khusus dengan Pfizer. Setelah bulan September nanti, paten ini akan kadaluwarsa dan perusahaan-perusahaan farmasi lain baru akan dapat memproduksi obat dengan kandungan yang sama.

Walaupun demikian, perusahaan-perusahaan lain tersebut tidak dapat menggunakan merk dagang Norvask® yang tetap menjadi hak milik eksklusif Pfizer. Perusahaan-perusahaan ini dapat menggunakan nama generik Amlodipine atau menggunakan merk sendiri.

Obat-obatan yang menggunakan nama generik ini kita sebut sebagai ´obat generik´, sedangkan Pfizer akan tetap dapat terus memproduksi Norvask® yang lebih tepat jika kita sebut dengan ´obat bermerek´.

Sejarah Obat Generik
Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu.

Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah menetapkan penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.

Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan.

Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, peningkatan pemanfaatan obat generik akan memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Kualitas Obat Generik Tidak Kalah
Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya dengan obat bermerk.

Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk. “Orang kan makan generiknya bukan merknya, karena yang menyembuhkan generiknya,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE.

Kualitas obat generik yang disebut ´tidak genit tapi menarik´ oleh dr. Marius ini tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE). Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi (BE) dengan obat pembanding inovator.

Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.

Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. “Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM masih fokus pada pelaksanaan CPOB,” ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Jaminan kualitas obat generik : Wajib BABE
“Memang mungkin ada perbedaan kualitas antara obat generik dan obat bermerk karena pada obat generik tidak dilakukan uji BA/BE. Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan dokter yang didukung pengalaman empiris meresepkan obat generik ternyata pasien tidak sembuh,” jelas DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Seakan menjawab keraguan di masyarakat dan klinisi, BPOM akan mengeluarkan peraturan untuk obat generik pada bulan Agustus 2007 nanti. Dalam peraturan tersebut, BPOM akan mengumumkan obat resep (ethical) yang dikenakan wajib BA/BE. Uji tersebut akan menjadi prasyarat registrasi obat yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPOM-RI.

Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan dan mutu obat generik. Dengan demikian, masyarakat terutama klinisi mendapat jaminan obat yang sesuai dengan standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Selain itu, uji BA/BE disiapkan untuk menghadapai harmonisasi bidang farmasi ASEAN 2008 mendatang.

Studi BE memungkinkan untuk membandingkan profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda (oral/mulut, rektal/dubur, transdermal/kulit).

Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA) dapat didefinisikan sebagai rate (kecepatan zat aktif dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan efek terapi/penyembuhan yang diinginkan.

Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan menjadi tidak adanya perbedaan secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk inovator, sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat.

DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes menambahkan bahwa dokter bisa percaya dan berani meresepkan obat generik asalkan ada uji BA/BE yang hasilnya bagus dan dipublikasikan.

Kendala Terbesar Obat Generik
Setiap negara wajib menyusun daftar obat esensial (DOEN), sejumlah jenis obat yang paling dibutuhkan di suatu negara, dan yang tergolong sering dipakai. Daftar ini dapat ditambah atau dikurangi oleh pemerintah sesuai kebutuhan negara.

Semakin bijak keputusan menyusun DOEN, semakin diuntungkan pihak konsumen. Lebih bijak kalau jumlah jenis obat yang dinilai layak tidak semakin banyak. Semakin sedikit jenis obat DOEN, semakin rasional obat yang bakal digunakan dalam praktik keseharian.

Namun, yang terjadi sekarang, dan itu sudah lama berlangsung, DOEN kita cenderung tambun. Obat bermerk dan jenis yang sama pun terus bertambah, sehingga membuat bingung dokter saat menulis resep. Kalau ada seratus jenis obat esensial, dan masing-masing jenis obat diproduksi oleh sepuluh merk obat, berapa ribu merk obat yang harus dokter ingat.

Bayangkan kalau untuk obat batuk yang sama tersedia puluhan merek. Duplikasi obat begini yang membuat persaingan harga obat semakin kurang sehat. Siapa merk obat yang berani lebih genit mempengaruhi dokter dan menulis resep, merk itu yang berpotensi menguasai pasar.

“Beda harga obat bermerk dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali bahkan ada yang sampai 200 kali lipat,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE. Perusahaan farmasi mengklaim bahwa keuntungan tersebut untuk komisi dokter meresepkan obat bermerk. Hal inilah yang menjadi kendala terbesar mandeknya obat generik di Indonesia.

dr. Marius Widjajarta, SE menambahkan bahwa di luar negeri, harga maksimal obat bermerk diatur hanya 1,2-2 kali harga obat generik. Tidak mengherankan jika kemudian peredaran obat palsu subur di Indonesia.

Sebenarnya sejak tahun 2006 kemarin, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) telah mengeluarkan Surat Edaran No. 100/SK/GPFI/2006 tanggal 1 September 2006 yang berisi himbauan kepada perusahaan farmasi untuk menurunkan harga obat bermerk sehingga harganya berkisar 3 kali lipat harga obat generik.

Harga obat generik bermerek (obat bermerk) yang diturunkan meliputi 34 item obat esensial bermerek yang mencakup lebih kurang 1.400 sediaan yang diproduksi berbagai perusahaan farmasi swasta yang merupakan anggota GP Farmasi kecuali Perusahaan Modal Asing (PMA).

Beda dengan Indonesia, pangsa pasar obat generik di negara maju seperti Amerika telah mencapai 40-45%. Di negara maju telah menganut sistem klaim asuransi kesehatan, sedangkan Indonesia masih menganut auto pocket dimana kalau sakit baru bayar biaya pengobatan.

Pada obat bermerek dagang memang dilakukan pemillihan bahan pembantu (bahan tambahan yang digunakan untuk membentuk produk obat selain zat aktif) yang spesial dan kemasan produk yang menawan yang menjadikannya terasa istimewa.

Sedangkan pada obat generik dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga produk. Akan tetapi berkat adanya studi BA dan atau BE, obat generik akan memberikan jaminan keamanan dan khasiat pengobatan walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat fisiko kimia zat aktif yang digunakan (bentuk kristal dan ukuran partikel) pada kedua produk obat tersebut.

Obat Generik Adalah Hak Pasien
Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain:

Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.
Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan.
Hak untuk ganti rugi.
Hak untuk memilih.
Hak untuk didengar.
Hak untuk mendapatkan advokasi.
Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan.
Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar maka sanksi yang menanti pun cukup berat. Pelanggar UU tersebut dapat dikenai denda maksimal 2 milyar dan kurungan maksimal 5 tahun.

Coba simak tips untuk berobat ke dokter dari dr. Marius Widjajarta, SE :“Mintalah obat generik ketika berobat ke dokter dan ingatkan dokter bahwa jika dokter tidak memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas maka dokter bisa melanggar UU No. 8 tahun 1999.”

Pasien memiliki hak untuk memilih pengobatan. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes mengatakan bahwa pasien harus mengingatkan dokter untuk menuliskan resep obat generik.

Jadi tidak ada alasan terutama bagi konsumen yang berkantong tebal untuk ragu dan merasa ‘bersalah’ jika hendak memilih obat generik dengan alasan penghematan. Apalagi dalam kondisi bangsa saat ini yang sedang menderita kronis akibat permasalahan hukum, politik, ekonomi, dan keamanan, di mana diperlukan kecerdasan seorang konsumen dalam memilih pengobatan.( disadur dari medicastore.com )

selain itu saya juga punya pengalaman menarik, bahwa saya pernah bertanya tentang kandungan obat generik (komposisinya) dan dia bilang obat dipasaran diijinkan untuk menambah dan mengurangi bobot sebanyak 15-20% dari bobot yang harus terkandung. contoh parasetamol 500mg, pihak perusahaan diijinkan menaikkan dan menurunkan 15-20% mg nya sehingga berkisar antara (400 mg-600 mg), selain itu obat dipasaran juga akan mempunyai kualitas dalam artian ada kwalitas 1 dan kwalitas 2, perusahaan besar seperti sanbe farma, kalbe farma, otto, dsb ( saya sebut first line company ) akan menggunakan kwalitas 1, sedangkan perusahan seccond line company seperti mutifa, graha farma, zenith, mecosin, dll menggunakan kwalitas 2 ( biasanya seperti itu ) itu menurut info yang saya dapatkan. sehingga pada perusahaan second line ongkos produksi serta harga obat pun jauh dibawah first line company. tapi saya sendiri jug menggunakan obat-obatan dari second line company lho, jangan salah syukur alhamdulillah pasien banyak yang cocok, jadi menurut saya hal itu tidak ada pengaruhnya denagan kesembuhan, toh kesembuhan bukan karena obat karena tuhan juga kok.....kasian juag sih kalo masyarakat dibebani biaya mahal untuk berobat, bagi saya menolong orang yang sakit dan dapat sembuh adalah anugrah bagi saya sendiri. saya ngomongnya disini jujur lho gak ada titipan pesan dari pabrik-pabrik tersebut. karena blog saya harap menjadi blog yang benar-benar informatif, selamat mencoba teman-teman

Read More..

1 komentar:

Anonim mengatakan...

betul juga.. dok...tapi mengapa setiap kita berobat ke RS apalagi kita pakai askes..pasti Dokternya selalu membuat resep yang katanya tidak ada di apotek Askes..jadi mau tidak mau kita harus beli di luar dengan harga yang sangat mahal...yang sperti dokter bilang blum tentu lebih bagus daripada obat Generik